PUBLIKKALTIM.COM – Isu mengenai uang kompensasi sebesar Rp5 juta yang disebut sebagai “uang tutup mulut” dalam proyek pembangunan terowongan di Jalan Kakap dibantah langsung oleh salah satu warga terdampak, Risma atau yang lebih dikenal dengan sebutan Acil Terowongan.
Dalam wawancara bersama media pada Sabtu (16/10), Risma menegaskan bahwa warga tidak pernah menyebut uang tersebut sebagai suap atau upaya pembungkaman seperti yang diberitakan salah satu media lokal Samarinda.
“Kayaknya nggak ada, Mas. Saya ngomong seperti itu (uang tutup mulut) nggak pernah. Kami minta perbaikan, minta dibuatkan turap, dan perbaikan untuk rumah yang mengalami keretakan,” ujar Risma saat ditemui di kediamannya.
Sebelumnya, sejumlah media lokal memberitakan bahwa kompensasi sebesar Rp5 juta yang diberikan kepada warga terdampak proyek disebut oleh warga sebagai “uang tutup mulut”.
Pemberitaan itu sontak menuai perhatian publik, terutama karena proyek terowongan tersebut tengah disorot akibat dugaan dampak lingkungan terhadap pemukiman warga sekitar.
Risma menyayangkan adanya pemberitaan yang, menurutnya, tidak sesuai dengan pernyataan yang ia sampaikan.
Ia menilai hal itu bisa menimbulkan salah persepsi publik terhadap warga dan menciptakan opini yang menyesatkan.
“Kepada medianya, mungkin kalau mau menuangkan sesuatu sesuai dengan apa yang saya bicarakan sih, Mas. Jadi jangan sampai salah tafsir atau menggiring opini ke arah yang tidak kami maksud,” ujarnya.
Warga Jalan Kakap memang sejak beberapa minggu terakhir aktif menyuarakan keluhan terkait getaran dan retakan rumah akibat aktivitas proyek terowongan.
Mereka berharap pemerintah dan kontraktor dapat segera melakukan perbaikan struktur rumah warga serta membangun turap pelindung agar dampak tidak semakin meluas.
Risma menegaskan bahwa warga tidak menolak proyek pembangunan tersebut.
Mereka justru mendukung upaya pemerintah dalam memperlancar arus lalu lintas kota. Namun, warga berharap agar keselamatan dan kenyamanan mereka juga menjadi prioritas.
“Kami ini cuma minta hak kami, Mas. Rumah kami goyang setiap malam, dinding retak. Kami mau pembangunan jalan terus, tapi juga ingin tenang tinggal di rumah sendiri,” tutur Risma.
Menutup pernyataannya, Risma menyampaikan harapan agar media bisa lebih berhati-hati dan akurat dalam memberitakan persoalan yang melibatkan masyarakat, khususnya di tengah situasi sensitif seperti proyek besar pemerintah.
“Kepada media, mohon kami warga ini dibantulah supaya kami bisa mendapatkan hak-hak kami. Kami ingin pemberitaan yang sesuai dengan keadaan di lapangan, bukan yang menggiring opini,” pungkasnya.
Kasus ini kembali menyoroti pentingnya tanggung jawab media dalam menjaga akurasi berita dan kepekaan terhadap sumber informasi.
Di tengah derasnya arus informasi publik, kesalahan kecil dalam pemberitaan bisa berakibat pada stigma sosial dan rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap media.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pihak kontraktor proyek terowongan belum memberikan pernyataan resmi terkait tudingan maupun klarifikasi mengenai mekanisme pemberian kompensasi kepada warga terdampak. Pemerintah Kota Samarinda juga dikabarkan tengah melakukan koordinasi dengan dinas terkait untuk memfasilitasi komunikasi antara warga dan pihak pelaksana proyek.
Dengan klarifikasi ini, warga berharap isu “uang tutup mulut” tidak lagi menjadi bahan spekulasi. Yang lebih penting bagi mereka adalah langkah nyata dari semua pihak untuk memastikan keamanan rumah dan ketenangan hidup di tengah pembangunan infrastruktur kota yang terus berjalan. (*)