Ketegangan Kembali Meningkat, Israel Serang Gaza Meski Gencatan Senjata Masih Berlaku

oleh -
oleh
Ilustrasi Jalur Gaza/kompas.com

PUBLIKKALTIM.COM – Ketegangan kembali memuncak di Jalur Gaza setelah militer Israel melancarkan serangan udara ke wilayah Rafah, Gaza selatan, pada Minggu (19/10), meskipun gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat masih secara resmi berlaku.

Serangan ini memicu kekhawatiran akan runtuhnya kesepakatan damai yang baru beberapa hari dijalankan oleh kedua belah pihak, yakni Israel dan kelompok perlawanan Palestina, Hamas.

Media Israel, termasuk siaran publik “Kan”, melaporkan bahwa serangan tersebut dilakukan oleh angkatan udara Israel dan menargetkan beberapa titik yang diduga menjadi lokasi keberadaan militan Hamas.

Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak militer Israel maupun Hamas terkait serangan tersebut, termasuk mengenai jumlah korban jiwa atau luka-luka.

Laporan dari kantor berita internasional AFP mengutip Kan menyebutkan bahwa pesawat tempur Israel menjatuhkan bom ke kawasan padat penduduk di Rafah.

Belum diketahui apakah serangan ini merupakan respons langsung atas dugaan pelanggaran yang dilakukan Hamas, atau merupakan bagian dari operasi militer yang lebih luas.

Israel Tuding Hamas Langgar Gencatan Senjata

Militer Israel sebelumnya menyatakan bahwa pasukannya mendapat tembakan dari arah wilayah Rafah pada Jumat lalu.

Dalam pernyataan resminya, militer menyebut “beberapa teroris” melepaskan tembakan ke arah tentara Israel, namun tidak menyebabkan korban cedera.

Sebagai respons, Israel kemudian meluncurkan serangan terhadap kelompok yang disebutnya sebagai “teroris” lain yang tengah mendekati pasukan Israel di daerah Khan Younis, wilayah tengah Gaza.

“Pasukan kami akan terus beroperasi untuk menghilangkan setiap ancaman langsung terhadap keselamatan mereka,” bunyi pernyataan militer Israel.

Israel menegaskan bahwa serangan tersebut bukan bentuk pelanggaran gencatan senjata, melainkan langkah defensif terhadap agresi dari pihak Hamas.

Namun, pernyataan tersebut belum dikonfirmasi secara independen oleh pihak ketiga.

Hamas: Pemulangan Jenazah Terkendala Reruntuhan

Selain saling tuduh soal pelanggaran gencatan senjata, Israel dan Hamas juga berselisih mengenai proses pemulangan jenazah sandera.

Pemerintah Israel menuntut Hamas segera menyerahkan sisa jenazah 28 sandera yang diyakini masih berada di Gaza.

Sementara itu, Hamas menyebut bahwa proses evakuasi jenazah sangat sulit dilakukan karena banyak korban yang terkubur di bawah reruntuhan bangunan akibat serangan udara sebelumnya.

BERITA LAINNYA :  Rocky Gerung  Dapat Somasi, Ada Tiga Tuntutan yang Disampaikan Sentul City

Dalam pernyataannya, Hamas mengklaim telah memulangkan 20 sandera yang masih hidup serta 12 jenazah, namun menyebut bahwa upaya mencari dan mengevakuasi jenazah lainnya membutuhkan alat berat dan kehadiran tim penyelamat, yang saat ini sulit dijalankan karena kondisi lapangan yang tidak aman.

“Kami tidak menolak pemulangan jenazah. Tapi harus dipahami bahwa proses ini membutuhkan waktu dan peralatan yang tidak kami miliki saat ini,” kata salah satu juru bicara Hamas.

Perbatasan Rafah Masih Ditutup

Sebagai bagian dari tekanan terhadap Hamas, Israel juga mengumumkan bahwa perbatasan Rafah — satu-satunya pintu keluar Gaza menuju Mesir — akan tetap ditutup hingga ada pemberitahuan lebih lanjut.

Penutupan ini dikhawatirkan akan memperparah krisis kemanusiaan di Gaza, yang kini menghadapi keterbatasan pasokan makanan, air bersih, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan lainnya.

Penutupan perbatasan juga menghambat upaya evakuasi warga sipil dan pengiriman jenazah ke luar wilayah konflik.

Sejumlah organisasi internasional telah mendesak agar perbatasan segera dibuka setidaknya untuk keperluan kemanusiaan.

Gencatan Senjata Rawan Gagal

Gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat ini semula disepakati untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk dan memberikan waktu bagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah sandera serta jenazah korban konflik.

Namun, perkembangan terbaru ini memperlihatkan rapuhnya kesepakatan tersebut.

Israel dan Hamas sama-sama menuduh pihak lain melakukan pelanggaran lebih dulu, sementara tidak ada mekanisme pemantauan independen di lapangan yang dapat memverifikasi klaim tersebut secara obyektif.

Pengamat Timur Tengah menilai bahwa keberlangsungan gencatan senjata sangat bergantung pada tekanan internasional, terutama dari Amerika Serikat, Mesir, dan PBB.

Tanpa pengawasan aktif, potensi konflik skala penuh kembali pecah sangat besar. (*)