Mau Sita Tanah Tak Produktif, Menteri ATR Dikritik DPR

oleh -
oleh
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima/ist

PUBLIKKALTIM.COM – Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, mengkritik keras rencana Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid yang ingin mengambil alih tanah bersertifikat yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut.

Menurut Aria, langkah tersebut tidak bisa dijalankan tanpa payung hukum yang kuat, karena menyangkut hak atas tanah yang dilindungi undang-undang.

“Positifnya memang tanah tidak mangkrak, supaya produktif, supaya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat. Tapi kalau aturannya enggak ada, ya enggak bisa asal saja,” kata Aria Bima, Rabu (30/7).

Politikus PDIP itu menyebut bahwa pemerintah harus menyiapkan regulasi terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh.

Ia menegaskan, ini bukan soal setuju atau tidak setuju terhadap kebijakan, melainkan soal kepatuhan terhadap hukum dan perlindungan terhadap hak kepemilikan.

“Bukannya sepakat atau tidak sepakat, tapi aturannya dulu ada enggak? Regulasi dulu, baru bicara implementasi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Aria menyarankan agar pemerintah memprioritaskan  lahan-lahan besar yang terbengkalai lebih dulu.

Ia menyebut hal ini penting demi mendukung program ketahanan pangan nasional dan penyediaan lahan untuk perumahan rakyat.

“Intinya rakyat butuh tanah, tapi jangan bertindak tanpa aturan. Komisi II DPR akan mencermati kebijakan ini: dasarnya apa, tujuannya apa, dan melayani kepentingan siapa. Yang jelas, tanah ini memang harus untuk rakyat,” ujarnya.

BERITA LAINNYA :  Jelang Pergantian Tahun, Ini Capaian Kejaksaan Negeri Samarinda Sepanjang 2021

Pernyataan Aria ini menanggapi kebijakan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang menyatakan bahwa tanah bersertifikat yang tidak digunakan selama dua tahun akan dikenai peringatan dan berpotensi diambil alih negara.

“Terhadap yang sudah terpetakan dan bersertifikat, manakala sejak disertifikatkan tidak ada aktivitas ekonomi maupun pembangunan apa-apa selama dua tahun, maka pemerintah wajib memberikan surat peringatan,” kata Nusron dalam Rakernas I PB IKA-PMII 2025–2030 di Jakarta Selatan, Minggu (13/7).

Kebijakan ini masih menunggu bentuk hukum resmi dan belum dijelaskan teknis pelaksanaannya.

Namun pernyataan tersebut telah menimbulkan pro-kontra di berbagai kalangan, termasuk di parlemen. (*)