KPU Kaltim Respon Fenomena Golput yang Kerap Jadi Isu Setiap Pemilu

oleh -
oleh
Komisioner Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU Kalimantan Timur  (Kaltim), Suardi/HO

PUBLIKKALTIM.COM – Masih ada masyarakat yang melaporkan tidak menerima undangan memilih dalam Pilkada serentak 2024.

Kemudian akses untuk memeriksa Daftar Pemilih Tetap (DPT) secara online juga belum dimanfaatkan secara maksimal oleh pemilih.

Hal itu tentu dapat menyebabkan tingginya angkat golput atau masyarakat tidak menggunakan haknya untuk memilih.

Merespon hal itu, Komisioner Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU Kalimantan Timur  (Kaltim), Suardi, menegaskan bahwa regulasi pemilu melalui PKPU Nomor 18 Tahun 2024 telah mengatur prosedur pemberitahuan kepada pemilih pada pasal 18 dan 19.

“Form C atau pemberitahuan undangan memang tidak wajib untuk memberikan suara. Fungsinya hanya memberitahukan waktu dan tempat pemungutan suara,” ujar Suardi.

Ia mengatakan, KPU telah melakukan berbagai bentuk sosialisasi, baik secara langsung maupun melalui media sosial untuk memberi pemahaman kepada pemilih.

Dijelaskannya, sosialisasi dilakukan secara berjenjang hingga ke tingkat desa.

Kemudian pemerintah daerah juga, ucapnya, mendukung dengan kampanye-kampanye peningkatan partisipasi pemilih.

Namun, ia mengakui kerap menemui sejumlah kendala, terutama dalam menjangkau masyarakat yang kurang memiliki akses informasi.

“Sosialisasi sudah kami lakukan, agar masyarakat tidak hanya tahu kapan dan di mana harus memilih, tetapi juga memahami pentingnya hak pilih mereka. Namun kendalanya banyak pemilih yang kurang memiliki akses informasi,” ungkapnya.

BERITA LAINNYA :  Debat Ketiga Pilkada Kaltim 2024, KPU Umumkan Pembatasan Kehadiran Pendukung Tiap Paslon

Sementara itu, fenomena golput juga disorot Jumansyah, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Mulawarman (Unmul)

Ia mengungkapkan bahwa persoalan golput selalu menjadi isu dalam setiap pemilu.

Namun, faktor penyebabnya kini semakin kompleks dan dinamis.

Menurut Jumansyah, masyarakat yang memilih untuk golput bisa jadi melakukannya karena meningkatnya kesadaran politik.

“Kesadaran politik yang tinggi justru membuat sebagian masyarakat enggan memilih paslon yang dinilai tidak memiliki konektivitas atau substansi yang sesuai dengan aspirasi mereka,” jelasnya.

Menurutnya, fenomena golput bukan sekadar masalah teknis, seperti distribusi undangan, tetapi lebih kepada kurangnya hubungan antara paslon dan masyarakat.

“Ketika konektivitas itu tidak ada, maka masyarakat cenderung merasa tidak ada yang merepresentasikan mereka, baik di tingkat kabupaten, kota, maupun provinsi,” pungkasnya. (Adv)