Usus Kasus Kekerasan Seksual dan Verbal di Lingkungan Pendidikan, Satgas PPKS Unmul Beri 6 Rekomendasi

oleh -
oleh
Satgas PPKS Unmul Samarinda yang merilis hasil penyelidikan mereka terhadap puluhan kasus kekerasan seksual dan verbal yang terjadi dilingkungan pendidikan. (IST)

PUBLIKKALTIM.COM – Kasus kekerasan seksual dan verbal selama dua tahun terakhir ini jadi atensi Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda.

Dari penyelidikan mereka yakni sejak 2022-2024, Satgas PPKS Unmul Samarinda mendapat kesimpulan adanya 3 tenaga didik, alias dosen yang melakukan pelanggaran dan direkomendasi mendapat sanksi administrasi, hingga pemberhentian.

Dijelaskan Satgas PPKS Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini kalau temuan tersebut berawal dari laporan 60 orang mahasiswa tentang 21 kasus kekerasan seksual, 3 kasus kekerasan fisik non seksual, dan 3 pelaporan tanpa identitas.

“Dari sejumlah kasus yang ditangani, 3 kasus di antaranya melibatkan 3 orang terlapor yang berstatus sebagai dosen di Universitas Mulawarman,” jelas Orin dalam siaran rilisnya, Senin (5/8/2024).

Kasus pertama, lanjutnya, terjadi pada saat proses penyelesaian tugas akhir mahasiswa, dimana kasus ini melibatkan dosen yang pada saat dilaporkan menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan di salah satu Fakultas di Universitas Mulawarman.

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, Satgas PPKS telah menyerahkan simpulan dan rekomendasi kepada Pimpinan Universitas Mulawarman dan telah ditindaklanjuti oleh Rektor Universitas Mulawarman sehingga saat ini sedang diproses oleh Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi di Jakarta.

Terhadap kasus ini, Satgas PPKS Unmul menyimpulkan bahwa terlapor terbukti melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (2) huruf l Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

“Yakni menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan atau menggosokan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan Korban,” katanya.

“Dan (Satgas PPKS Unmul) memberikan rekomendasi agar terlapor diberikan sanksi administratif berat berupa pemberhentian tetap sebagai pendidik di Universitas Mulawarman,” katanya lagi.

Kemudian, kasus kedua, perbuatan diskriminasi gender sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (2) huruf a Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.

Yakni menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh atau identitas gender korban.

“Ini terjadi pada saat proses perkuliahan di kelas sedang berlangsung. Terhadap terlapor, Satgas PPKS Unmul berkesimpulan perbuatan diskriminasi gender terbukti dilakukan dan kepada terlapor direkomendasikan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan terlapor telah melakukan permintaan maaf serta tidak mengulangi perbuatannya sesuai permintaan korban sebagai pelapor,” bebernya.

Kasus ketiga, dengan jumlah 6 orang pelapor yang melibatkan seorang dosen dengan jabatan Guru Besar pada salah satu Fakultas di Universitas Mulawarman.

Berdasarkan hasil penanganan dan pemeriksaan, Satgas PPKS Unmul menyimpulkan bahwa Terlapor terbukti melakukan perbuatan menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon atau siulan yang bernuansa seksual pada korban.

Menatap korban dengan nuansa seksual atau tidak nyaman, menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban sebagaimana Pasal 5 (2) huruf c, d, dan l Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.

BERITA LAINNYA :  Soal Proyek MYC, Akademisi Unmul: Proyek MYC Tak Boleh Asal Main Diselundupkan

“Terhadap kasus ini, Satgas PPKS Unmul merekomendasikan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan dan larangan bagi terlapor untuk menduduki jabatan strategis di lingkungan Universitas Mulawarman,” tegasnya.

Berdasarkan 3 kasus kekerasan seksual yang melibatkan dosen sebagai terlapor atau pelaku dan mahasiswa sebagai korban, Satgas PPKS Unmul mengkonfirmasi salah satu sebab terjadinya kekerasan seksual yang masih terjadi dilingkungan pendidikan, karena adanya relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa yang selama ini ada dan mengakar di perguruan tinggi.

Relasi kuasa karena adanya kepentingan mahasiswa terhadap dosen dalam proses bimbingan penyelesaian tugas akhir, pelaksanaan penelitian yang dilakukan di luar perguruan tinggi, hingga relasi kuasa yang terjadi dalam interaksi di kelas selama proses perkuliahan berlangsung.

“Oleh karena itu, Satgas PPKS Unmul melakukan berbagai upaya untuk membangun sistem dan cara untuk mencegah terjadinya keberulangan, termasuk memberikan catatan untuk meminimalkan potensi penyalahgunaan relasi kuasa yang ada di Universitas Mulawarman,” tekannya.

Dari hasil penyelidikan dan kajian yang dilakukan, Satgas PPKS Unmul Samarinda menyampaikan imbauan yang bisa dilakukan Universitas, civitas akademika, dan warga Universitas Mulawarman.

Berikut 6 rekomendasi yang diberikan Satgas PPKS Unmul Samarinda ;
1. Membatasi jam pertemuan antara mahasiswa dengan pendidik/dosen dan/atau tenaga kependidikan di luar jam operasional kampus dan/atau luar area kampus; dosen dan mahasiswa dalam kegiatan pelaksanaan Tri Dharma perguruan tinggi;

2. Membuat sistem pemberitahuan untuk melakukan pelaksanaan Tri Dharma yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi;

3. Mengikuti edukasi dan sosialisasi agar penyebarluasan bentuk kekerasan seksual dapat diketahui dan dipahami sehingga menjadi panduan agar tidak menjadi pelaku maupun korban kekerasan seksual;

4. Penguatan budaya anti kekerasan seksual yang dilakukan bersama oleh seluruh sivitas akademika Universitas Mulawarman.

5. Mengimbau kepada seluruh sivitas akademika dan warga kampus Universitas Mulawarman yang mengetahui adanya kekerasan seksual maupun menjadi korban kekerasan seksual untuk segera melapor melalui hotline whatsapp Satgas PPKS Unmul 0851-7691-9149 dan/atau instagram @SatgasPPKS.Unmul.

6. Laporan yang disampaikan oleh saksi dan/atau pelapor disertai jaminan keberlanjutan studi/dan atau pekerjaan, serta tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. (*)